Lelaki Gerhana Bulan II
Dunia seperti mempermainkanku, seperti sudah ku bilang, aku ini masih hijau, tahu apa aku tentang perasaan. Sebatas yang aku paham, lelaki itu seperti candu. Setiap hari yang aku inginkan hanya dia.
Belum pernah keluar dari mulutku satu kata pun, entahlah kelu rasanya. Ini bukan seperti aku. Dia yang ada di hadapanku, terlewati begitu saja semua kesempatan yang alam ramukan, karena lemahnya aku.
Tahukah kamu, lelaki yang hadir di Bulan Juli. Kau berhasil membuatku berantakan.
Mungkin tak pernah kau tahu, inginnya aku hanya menyapamu, cukup dengan hai, atau bahkan tersenyum. Senyum yang mungkin akan terlihat kikuk, atau aneh. Saat itu, ketika entah bagaimana, kamu dengan kedua bola mata coklatmu tiba-tiba bertemu dengan mataku, kamu dengan kepolosanmu, tersenyum, tak berkata. Aku yang juga hanya diam terpaku di situ, sama tak berkata. Entahlah, kita berdua hanya dua anak manusia bodoh, atau mungkin secara alamiah hanya bisa sebatas itu memahami keadaan.
Kadang aku berpikir, apakah terlalu muda saat kita bertemu. Hingga akhirnya antara kita berdua, menyisakan tanda tanya besar. Setidaknya buatku.
Entah sejak kapan, yang aku rasa, kamu menjelma menjadi magnet. Di mana ada aku, ada kamu. Kamu yang lepas tersenyum, kamu dengan berani menatap kadang hingga lekat, aku tahu matamu ingin mengatakan sesuatu tapi enggan. Mungkin karena aku yang layaknya seperti gunung es, hanya mematung, terkesan tidak peduli.
Alam seperti mempermainkan kita, selalu dipertemukan, tak pernah bisa bicara. Entahlah..
Aku tahu kamu pernah marah, karena sikap tak peduliku, atau tepatnya terlihat tak peduli. Maafkan ya.
Hai kamu lelaki berbaju merah, mungkin itu warna kesukaanmu. Aku juga suka. Aku suka ketika kamu seolah mempersiapkan diri untuk terlihat menarik di depanku.
Kau lelaki pertama yang bilang aku cantik. Aku tak pernah tahu diriku menarik, sampai kamu yang mengatakannya. Entah apa yang kamu lihat, tapi aku senang. Meskipun belum sempat aku bilang terima kasih. Ah, aku memang bodoh.
Comments
Post a Comment